2  UTS-1 All About Me

Aku Ivant Samuel Silaban. Seorang mahasiswa Teknik Informatika di Institut Teknologi Bandung, dan ini adalah tahun ketigaku. Aku anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara, sebuah posisi yang menanamkan ekspektasi untuk menjadi pemimpin dan pelindung di masa depan. Aku lahir di Balige, kota sunyi di tepi Danau Toba, sebelum akhirnya menjadikan Bandung rumah baru untuk menempa ilmu.

Secara alamiah, aku adalah seorang INTP. Artinya, aku punya dua sifat bawaan:

  1. Aku suka mengeksplor banyak hal (sisi ‘P’ - Prospecting), yang menjelaskan kenapa aku “gampang bosan” dan hobiku adalah “mencoba hal baru”.

  2. Aku suka berdebat (sisi ‘T’ - Thinking). Aku suka menganalisis, mencari kebenaran logis, dan menantang ide yang tidak efisien.

Ironisnya, aku dididik untuk jadi bijaksana (kata Ayah) dan mengutamakan perasaan orang lain (kata Ibu). Kombinasi ini menghasilkan produk menarik: seorang INTP (logis & suka berdebat) yang terjebak dalam peran ‘people-pleaser’ (harmonis & pasif). Aku jadi manusia yang mandiri (anak asrama), tapi sangat bergantung pada validasi eksternal.

Hobi? Aku nggak punya satu hobi pasti. Aku gampang bosan, jadi hobiku adalah mencoba hal baru. Mungkin itu hobi yang sebenarnya: eksplorasi. Aku juga suka mengamati interaksi manusia, mencari keindahan di momen-momen kecil yang sering terlewat. Aku adalah pengamat interaksi manusia. Aku suka mencari keindahan di momen kecil. Tapi aku juga punya ‘bug’ besar: aku lebih mengutamakan kenyamanan orang lain daripada kenyamananku sendiri.

2.1 Tirani Harmoni: Saat ‘Baik’ Menjadi Bumerang

Aku dibesarkan untuk jadi ‘anak baik’. Masalahnya, ‘baik’ sering disalahartikan sebagai ‘pasif’. Aku terjebak dalam Kepasifan (Passivity, di mana aku membiarkan orang lain menulis dialog di cerita hidupku. Aku jadi pahlawan di cerita mereka, tapi jadi korban di ceritaku sendiri.

Ini adalah Cerita Kontaminasi (Contamination Story) yang klasik. Niat baikku (‘positif’) diracuni oleh kepasifanku, yang membuatku dimanfaatkan oleh mereka (‘negatif’). Aku membiarkan ‘tumpahan minyak’ ini meracuni kesehatan mentalku.

Tragedi ‘Solo Tubes’

Dari tahun pertama, setiap ada tugas berkelompok, kemungkinan besar ada paling tidak satu orang di kelompokku yang menjadi ‘beban’ kelompok. Tetapi selama tahun pertama, aku beruntung masih punya satu orang yang menjadi ‘sepuh’ kelompok, jadi aku tidak terlalu capek untuk berkontribusi mengerjakan tubes-tubes. Namun, semua berganti saat tubes kedua mata kuliah aljabar linear dan geometri, dimana di H-1, ada teman sekelompokku yang masih selesai bagian desain figmanya doang, sedangkan aku dan temanku yang satu lagi sudah kelar backend dari minggu pertama tugas tersebut diturunkan. Padahal selama tiga minggu lamanya, kami bertanya apakah sudah aman atau belum, dan dia selalu menjawab aman. Ini membuatku di hari-h deadline mengerjakan website sendirian sampai aku harus bolos kelas seharian. Kuharap ini adalah pertama dan terakhir kalinya aku mendapatkan kelompok seperti ini. Dan apakah ini memang sudah berakhir? Oh belum. Aku justru mendapatkan sesuatu yang bahkan jauh lebih parah. Di semester 4, ada satu week yang diisi ama 3 deadline tubes, yaitu tubes Sistem Operasi, Basis Data, dan Jaringan Komputer.
Untuk Sistem Operasi, terdiri dari lima milestone dengan soft deadline. Dimana milestone 1 dikerjakan oleh dua orang teman saya, lalu aku melakukan finishing pada milestone 1 dan sekalian mengerjakan sampai selesai milestone 2. Lalu pada milestone 2, temanku hanya mengerjakan setengah dan aku melanjutkannya. Dan ternyata bagian yang harus aku lanjutkan adalah salah satu bagian tersulit di tugas ini. Dan akhirnya selesai di h-7 deadline.
Tidak cukup sampai situ, selama dua atau tiga hari, aku membawa laptopku servis karena rawan blue screen, sehingga aku meminta temanku untuk melanjutkan milestone selanjutnya. Saat itu, aku mengantar laptopku bersama teman satu kos yang merupakan teman satu kelompokku juga. Selama tiga hari aku menunggu sambil mengerjakan tugas lain yang bisa dikerjakan lewat HP, dan akhirnya selesai. Paling menyedihkannya, ternyata tidak ada progress signifikan dari teman kelompokku, bahkan teman satu kosku selama ini terlalu asik bermain game. Jujur, aku sangat kesal ke teman satu kos ini apalagi ketika dia mengakui dia gak paham dengan tugas ini, tetapi aku selalu menahan diriku untuk tidak marah, dan mengambil keputusan untuk tidak tidur selama beberapa hari kedepan untuk menyelesaikan tugas ini. Tugas ini akhirnya dikumpul apa adanya, masih banyak masalah karena kecerobohanku selama mengerjakan tugas ini.
Dua hari kemudian adalah deadline tugas besar basis data. Tugas ini punya tiga milestone, dan selama tiga milestone ini, tidak semua kelompokku aktif, dan aku tidak terlalu mempermasalahkannya karena akhirnya selesai juga. Dan dua hari setelahnya adalah deadline tugas besar jaringan komputer. Tugas ini punya dua bagian besar, dan jauh sebelum deadline, aku sudah menyelesaikan satu bagian yang dimana berarti aku sudah kontribusi 40-50%. Untuk bagian 2, aku sudah bikin kode awalnya, tinggal tiga teman kelompokku menyesuaikan. Dan ya, ternyata tidak ada progres signifikan dan aku terpaksa solo tugas ini lagi, dan ironisnya, aku sekelompok dengan teman satu kosku itu.
Dan yang paling aneh dari semuanya adalah teman satu kosku itu. Dia bahkan tidak mengucapkan ‘Maaf’ atau ‘Terima Kasih’ sama sekali. Dan yang paling mengecewakan dari dia adalah dia masih selalu meninggalkanku, bahkan di saat aku lagi kurang enak badan karena beberapa hari tidak tidur dan persiapan untuk uas yang terlalu memaksakan diriku. Aku akhirnya menyadari bahwa aku baru saja mengorbankan kewarasanku untuk ‘harmoni’ palsu. Ini adalah “daya tarik interpersonal” yang sangat error. Ternyata ‘daya tarik interpersonal’-ku adalah semacam magnet bagi freeloader profesional (just kidding :D).

2.1.1 Kontaminasi dari Orang Lain

Aku punya teman-teman yang, jujur saja, nggak punya arah. Aku membantu mereka, membagikan hal positif, dan nggak pernah meninggalkan mereka. Aku berharap ‘kebaikan’-ku akan mengubah mereka. Hasilnya? Mereka mengecewakanku berkali-kali. Aku jadi si ‘cuek’ di luar, tapi ‘kesal’ di dalam.