4  UTS-3 My Stories for You

(Narasi Penemuan Diri)

Ini bukan cerita tentang bakat alami. Aku tidak punya itu.

Ini adalah cerita tentang “penemuan diri” yang brutal. Tentang siklus. Tentang jatuh, hancur, lalu bangkit lagi. Ini adalah kisah inspiratif yang ingin aku bagikan: kisah tentang resiliensi.

4.1 Bab 1: Agensi Melawan Siklus

Aku nggak merasa punya talenta bawaan apa-apa. Waktu kecil, aku melihat teman-temanku jago di banyak hal. Aku? Aku merasa biasa saja. Ini bisa jadi Cerita Kontaminasi (Contamination Story) awalku: narasi tentang anak yang terlahir ‘biasa saja’.

Tapi aku menolak narasi itu. Aku percaya pada Agensi (Agency), bahwa aku adalah aktor utama dalam ceritaku.

‘Momen berkilau’ pertamaku datang dari buku ensiklopedia tebal saat kelas 4 SD. Itu memicu rasa ingin tahu. Puncaknya di kelas 5, aku yang merasa paling kurang di matematika, nekat ikut seleksi tim olimpiade dan lolos (dengan cara yang agak ajaib dan penuh tebakan).

Kejadian itu menjadi katalis. Aku mulai fokus. Yang dulu paling lama pulang sekolah, akhirnya bisa jadi juara kelas.

Tapi, ceritaku bukanlah garis lurus. Ia sebuah siklus yang berulang: Kontaminasi -> Penebusan -> Kontaminasi -> Penebusan.

Polanya selalu sama: aku menjadi malas, sombong, dan terlena. Ini ‘Kontaminasi’-ku.

  • Siklus #1 (SMP): Aku lolos kelas unggulan, lalu terlena. Aku jadi pemalas, tidak belajar. Aku masuk ‘zona kuning’ zona waspada keluar dari kelas unggul. Teman-temanku mulai meninggalkanku. Itu ‘benturan’ pertamaku. Aku down.
    Tidak ada yang bisa mempercayaiku. Teman-temanku selalu menghindariku jika ada tugas kelompok, bermain, dan kegiatan-kegiatan lain. Bahkan aku pernah merasa bahwa aku sedang di-bully mereka (tetapi ini sebenarnya karena efek overthinking).

Tapi ‘benturan’ itu juga yang membuatku ‘terbentuk’. Di kelas 9, aku paksa diriku fokus. Hasilnya? Aku lolos ke SMA Unggulan, mengalahkan temanku yang dulu selalu juara kelas. Itu Penebusan pertamaku. Bahkan, selama kelas 9, aku berhasil membuat mereka menganggap aku sebagai seorang teman. Jadi aku akhirnya selalu diajak untuk bermain sama, belajar sama, dan akhirnya aku bisa eksplorasi lebih jauh. Bahkan mereka kadang minta bantuan akademik dari aku.

  • Siklus #2 (SMA): Pola itu kembali, dan lebih parah. Efek daring karena COVID-19, aku hancur oleh games. Emosiku tidak stabil, akademikku hancur lebur. ‘Kontaminasi’ kali ini terasa fatal. Semua berawal dari selama libur yang aku kebanyakan begadang untuk bermain games dan menonton anime. Lalu saat sudah mulai SMA, aku mengganggap remeh materi-materi SMA, berpikir sama seperti waktu SMP yang dimana aku tidak pernah belajar masih bisa mendapatkan nilai tinggi. Bahkan aku yang biasanya semangat ikut olimpiade, kali ini sirna. Aku terlalu sering bermain games dan hiburan lainnya. Akhirnya aku tertampar nilai-nilaiku yang hancur, dan aku sadar bahwa SMA ini adalah bukan SMA biasa. Soal-soal di SMA ini udah sangat jauh lebih sulit dari yang aku bayangkan. ‘Benturan’ kedua datang saat kami kembali ke asrama. Aku sadar betapa hancurnya diriku. Dan sekali lagi, ‘benturan’ itu memaksaku ‘terbentuk’ kembali. Setelah kegiatan pra-asrama di SMA-ku (Orientasi), aku merasa kalau aku punya fisik yang sangat buruk, pola pikir yang kacau. Nilai-nilaiku pun tetap sama hancurnya, bahkan kali ini aku hampir tinggal kelas karena satu mata pelajaran yang di bawah rata-rata.
    Akhirnya aku berpikir untuk berubah. Langkah awal yang aku ambil adalah membatasi diriku secara ketat terkait konten media sosial dan games yang aku mainin. Lalu waktu yang biasanya aku gunakan untuk bermain game, aku convert ke berolahraga. Ini adalah tahap awal perubahanku. Selama libur menuju kelas 12, aku selalu berolahraga, bahkan setelah masuk asrama kembali, aku tetap berolahraga. Aku yang biasanya tidur di kelas (efek begadang saat libur), bisa tetap bangun. Dan motivasi akademikku seketika naik setelah aku mendapatkan nilai yang sangat tinggi di mata pelajaran yang selama kelas 10 dan 11 selalu remedial.

4.2 Bab 2: Penemuan Diri

Pola ini, jatuh karena kemalasan, lalu bangkit karena ‘tamparan’ realita, adalah inti “penemuan diriku”.

“Keautentikan”-ku ada di sini: Aku bukan orang yang konsisten rajin. Aku adalah orang yang selalu bisa bangkit lagi.

“Inspirasi” yang ingin aku bagikan adalah ini: Lolos ke ITB bukanlah hasil dari bakat alami atau konsistensi tanpa cela. Itu adalah hasil dari Penebusan yang terjadi selama ini.

Narasi negatif “aku tidak punya talenta” pada akhirnya diubah menjadi narasi positif “aku adalah bukti bahwa resiliensi dan kerja keras mengalahkan bakat”. Agensiku bukanlah konsistensi, tapi resiliensi. Dan itu, kurasa, adalah cerita yang layak dibagikan.